Jumat, 09 September 2011
Tragis! Peraih Emas Balap Sepeda Ini Jadi Penarik Becak
penjasorkes.com — Dipuja ketika masih berjaya, ditelantarkan saat sudah tidak berdaya. Barangkali itulah gambaran nasib sebagian mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara saat ini.
Cerita sedih dan memilukan itu juga menimpa salah satu atlet balap sepeda nasional asal Surabaya, Jawa Timur, bernama Suharto. Dia kini berprofesi sebagai penarik (tukang) becak.
Siapa sangka, mantan pebalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh, dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.
Dua tahun sebelumnya, di SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand, Suharto menyumbangkan dua medali perak untuk kontingen "Merah Putih" dari nomor jalan raya beregu dan perorangan.
"Saat itu, tim balap sepeda Indonesia tampil cukup solid sehingga bisa merebut medali emas," kata Suharto saat ditemui Antara di tempat kosnya di Jalan Kebon Dalem VII, Surabaya, Selasa (30/8/11).
Ia menceritakan bahwa kekuatan balap sepeda Indonesia pada era 1970-1980-an cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.
Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan Suharto. Di kamar kos yang hanya berukuran 2 x 3 meter, Suharto menyimpan rapi seluruh medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional.
Bapak tiga orang anak itu juga mengumpulkan kliping berita dari berbagai media cetak yang memuat keberhasilan tim balap Indonesia, termasuk juga foto bersama Presiden RI Soeharto.
"Semuanya masih saya simpan dan sekali waktu kalau kangen, saya buka lagi kliping-kliping itu," ujar pria kelahiran Surabaya pada 18 Februari 1952 itu.
Suharto menuturkan, ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini.
"Kami hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Waktu itu cuma diajak makan-makan, tidak diberi uang saku," tambahnya.
Perkenalan pada cabang olahraga balap sepeda memang tidak disengaja. Saat itu di awal tahun 1970-an, Suharto memulai latihan dengan menggunakan sepeda "pancal" milik ayahnya yang dimodifikasi menjadi sepeda balap.
Kendati tidak mendapatkan izin dari ayahnya, Suharto nekat mengikuti lomba balap sepeda tingkat lokal Piala Wali Kota Surabaya dan tampil sebagai juara. Setelah itu, Suharto yang seangkatan dengan mantan pebalap nasional Sutarwi dan Sapari (keduanya dari Jatim) itu, bergabung dengan klub balap sepeda Porseni Korpri Surabaya dan mengikuti beberapa balapan level nasional.
"Saya dipanggil bergabung di tim nasional setelah mengalahkan pebalap nasional pada kejuaraan di Jawa Barat sekitar tahun 1975. Kemudian saya masuk tim SEA Games 1977," tuturnya.
Bersama sejumlah pebalap nasional, Suharto mendapatkan kesempatan dari Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) mengikuti pemusatan latihan di Swiss selama beberapa bulan. Setelah hanya merebut medali perak pada 1977, dua tahun berselang, Suharto akhirnya mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia.
"Saya memutuskan berhenti dari balapan pada tahun 1981, karena tuntutan ekonomi. Apalagi, saat itu juga tidak ada janji apa-apa dari pemerintah untuk diberikan pekerjaan," katanya.
Kerja serabutan
Setelah memutuskan gantung sepeda, nasib Suharto menjadi tidak menentu. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan. Menjadi kernet angkutan kota, membantu tetangganya berjualan ayam kampung atau berjualan alat pendingin ruangan (AC) bekas, pernah dia jalani sebelum akhirnya menjadi tukang becak hingga sekarang.
Bersama istrinya, ia hidup sangat sederhana dan berpindah-pindah tempat kos. Sebelum menyewa kamar kos di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah ditempati lebih dari 15 tahun, Suharto pernah kos di kawasan Sukodono, Surabaya.
Sehari-hari dia kini menjadi penarik becak di sekitar kawasan wisata religi Makam Sunan Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Namun, hampir tiga bulan terakhir dia harus istirahat dari rutinitas menarik becak, karena penyakit hernia yang dideritanya sejak dua tahun lalu. Karena merasa tidak tahan dengan sakit yang terus menderanya, Suharto memberanikan diri datang ke kantor KONI Jatim pada sekitar Mei 2011 untuk meminta bantuan.
Ketua Harian KONI Jatim, Dhimam Abror Djuraid, sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu. Apalagi, saat datang ke kantor KONI Jatim, bagian perut Suharto diikat dengan bekas ban dalam sepeda sebagai penahan rasa nyeri akibat penyakit hernianya.
"Saya dibantu Pak Abror untuk menjalani operasi pengangkatan hernia. Sekarang kadang-kadang masih terasa sakit dan belum boleh bekerja berat dulu," kata Suharto.
Abror mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu Suharto untuk mendapatkan penghargaan dari pemerintah, karena pernah memiliki prestasi internasional.
"Pak Harto ini layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Dia pernah menjadi juara SEA Games, tapi sekarang hidupnya memprihatinkan," ujarnya.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memiliki program pemberian hadiah rumah kepada mantan-mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di pentas internasional.
"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah," tambah Suharto.
Kendati sudah 30 tahun pensiun dari balap sepeda, Suharto masih memiliki niatan untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya itu.
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto menutup pembicaraan. Sumber Kompas
Cerita sedih dan memilukan itu juga menimpa salah satu atlet balap sepeda nasional asal Surabaya, Jawa Timur, bernama Suharto. Dia kini berprofesi sebagai penarik (tukang) becak.
Siapa sangka, mantan pebalap yang kini berusia 59 tahun itu pernah merebut medali emas pada SEA Games 1979 di Malaysia untuk nomor "Team Time Trial" jarak 100 kilometer. Bersama tiga rekannya saat itu, yakni Sutiono, Munawar Saleh, dan Dasrizal, tim balap sepeda Indonesia mampu mempecundangi pesaingnya dari Malaysia dan Thailand untuk merebut medali emas.
Dua tahun sebelumnya, di SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand, Suharto menyumbangkan dua medali perak untuk kontingen "Merah Putih" dari nomor jalan raya beregu dan perorangan.
"Saat itu, tim balap sepeda Indonesia tampil cukup solid sehingga bisa merebut medali emas," kata Suharto saat ditemui Antara di tempat kosnya di Jalan Kebon Dalem VII, Surabaya, Selasa (30/8/11).
Ia menceritakan bahwa kekuatan balap sepeda Indonesia pada era 1970-1980-an cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.
Kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan Suharto. Di kamar kos yang hanya berukuran 2 x 3 meter, Suharto menyimpan rapi seluruh medali dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh dari berbagai ajang balapan nasional dan internasional.
Bapak tiga orang anak itu juga mengumpulkan kliping berita dari berbagai media cetak yang memuat keberhasilan tim balap Indonesia, termasuk juga foto bersama Presiden RI Soeharto.
"Semuanya masih saya simpan dan sekali waktu kalau kangen, saya buka lagi kliping-kliping itu," ujar pria kelahiran Surabaya pada 18 Februari 1952 itu.
Suharto menuturkan, ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan teman-temannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet nasional saat ini.
"Kami hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur Jatim di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Waktu itu cuma diajak makan-makan, tidak diberi uang saku," tambahnya.
Perkenalan pada cabang olahraga balap sepeda memang tidak disengaja. Saat itu di awal tahun 1970-an, Suharto memulai latihan dengan menggunakan sepeda "pancal" milik ayahnya yang dimodifikasi menjadi sepeda balap.
Kendati tidak mendapatkan izin dari ayahnya, Suharto nekat mengikuti lomba balap sepeda tingkat lokal Piala Wali Kota Surabaya dan tampil sebagai juara. Setelah itu, Suharto yang seangkatan dengan mantan pebalap nasional Sutarwi dan Sapari (keduanya dari Jatim) itu, bergabung dengan klub balap sepeda Porseni Korpri Surabaya dan mengikuti beberapa balapan level nasional.
"Saya dipanggil bergabung di tim nasional setelah mengalahkan pebalap nasional pada kejuaraan di Jawa Barat sekitar tahun 1975. Kemudian saya masuk tim SEA Games 1977," tuturnya.
Bersama sejumlah pebalap nasional, Suharto mendapatkan kesempatan dari Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) mengikuti pemusatan latihan di Swiss selama beberapa bulan. Setelah hanya merebut medali perak pada 1977, dua tahun berselang, Suharto akhirnya mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia.
"Saya memutuskan berhenti dari balapan pada tahun 1981, karena tuntutan ekonomi. Apalagi, saat itu juga tidak ada janji apa-apa dari pemerintah untuk diberikan pekerjaan," katanya.
Kerja serabutan
Setelah memutuskan gantung sepeda, nasib Suharto menjadi tidak menentu. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan. Menjadi kernet angkutan kota, membantu tetangganya berjualan ayam kampung atau berjualan alat pendingin ruangan (AC) bekas, pernah dia jalani sebelum akhirnya menjadi tukang becak hingga sekarang.
Bersama istrinya, ia hidup sangat sederhana dan berpindah-pindah tempat kos. Sebelum menyewa kamar kos di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah ditempati lebih dari 15 tahun, Suharto pernah kos di kawasan Sukodono, Surabaya.
Sehari-hari dia kini menjadi penarik becak di sekitar kawasan wisata religi Makam Sunan Ampel yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga. Kalau ada sisanya kami tabung untuk bayar sewa kamar kos," ujarnya.
Namun, hampir tiga bulan terakhir dia harus istirahat dari rutinitas menarik becak, karena penyakit hernia yang dideritanya sejak dua tahun lalu. Karena merasa tidak tahan dengan sakit yang terus menderanya, Suharto memberanikan diri datang ke kantor KONI Jatim pada sekitar Mei 2011 untuk meminta bantuan.
Ketua Harian KONI Jatim, Dhimam Abror Djuraid, sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi mantan atlet balap sepeda nasional itu. Apalagi, saat datang ke kantor KONI Jatim, bagian perut Suharto diikat dengan bekas ban dalam sepeda sebagai penahan rasa nyeri akibat penyakit hernianya.
"Saya dibantu Pak Abror untuk menjalani operasi pengangkatan hernia. Sekarang kadang-kadang masih terasa sakit dan belum boleh bekerja berat dulu," kata Suharto.
Abror mengatakan, pihaknya akan berupaya membantu Suharto untuk mendapatkan penghargaan dari pemerintah, karena pernah memiliki prestasi internasional.
"Pak Harto ini layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Dia pernah menjadi juara SEA Games, tapi sekarang hidupnya memprihatinkan," ujarnya.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memiliki program pemberian hadiah rumah kepada mantan-mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara Indonesia di pentas internasional.
"Saya tidak pernah baca koran, jadi tidak tahu kalau ada program rumah gratis bagi mantan atlet nasional dari pemerintah," tambah Suharto.
Kendati sudah 30 tahun pensiun dari balap sepeda, Suharto masih memiliki niatan untuk kembali menekuni olahraga yang pernah membesarkan namanya itu.
"Kalau ada kesempatan dan modal, saya pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh," kata Suharto menutup pembicaraan. Sumber Kompas
Terkejut, Pemain Timnas Temui Riedl
penjasorkes.com. Polemik seputar pemain timnas semakin memanas. Setelah kasus pemain yang sakit hati karena merasa "dilecehkan" oleh komentar pelatih Wim Rijsbergen, kini giliran PSSI yang kebakaran jenggot setelah mengetahui ada beberapa pemain yang Rabu lalu (7/9) bertemu dengan mantan pelatih timnas Alfred Riedl di salah satu mall di Jakarta. Kabarnya ada tujuh pemain "bersilaturrahim" dengan pelatih asal Austria tersebut.
Penanggungjawab Timnas yang juga Ketua Komdis PSSI, Benhard Limbong mengaku terkejut dengan kabar itu. Limbong pun menyatakan akan memanggil pemain-pemain yang dikabarkan bertemu Riedl untuk dimintai keterangan.
"Apa maksudnya dia (Riedl) memanggil para pemain. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan di sana. Tapi saya ingin Riedl segera meninggalkan Indonesia dan tidak lagi mencampuri urusan timnas," cetus Limbong kepada wartawan di kantor PSSI, Jumat (9/9).
Sejak beberapa hari lalu Riedl memang berada di Jakarta. Ini terkait dengan tuntutannya kepada PSSI yang belum juga dikabulkan. Yaitu kompensasi senilai sekitar Rp 1,7 miliar karena dia diberhentikan di tengah jalan tanpa alasan jelas pertengahan Juli lalu.
"Alfred Riedl ke FIFA saja. Itu urusan dia dengan FIFA. Dia tidak usah ganggu PSSI. Kenapa Riedl mesti datang lagi ke Indonesia jika masalahnya sudah diserahkan ke FIFA," sambung Limbong.
Jenderal bintang satu ini juga menyalahkan pemain yang menurutnya terkesan cengeng. "Saya juga heran kenapa pemain ngotot ingin pelath diganti. Kalah dalam pertandingan itu wajar. Tidak perlu mencari kambing hitam. Kita evaluasi bersama. Tidak bisa pemain menentukan pelatihnya sendiri," bebernya.
Pertemuan beberapa pemain dengan Riedl itu dibenarkan oleh mantan asisten timnas Wolfgang Pikal. Menurut Wolfgang itu hanyalah silaturrahim biasa. Tidak ada egenda khusus yang dibicarakan. "Hanya pertemuan antar teman untuk melepas kangen. Saya kira itu wajar saja," kata Wolfgang.
Ketika didesak membocorkan siapa saja yang datang dalam pertemuan tersebut Wolfgang yang ikut nimbrung dalam pertemuan itu menolak menyebutkannya. (sumber : Jawapost)
Penanggungjawab Timnas yang juga Ketua Komdis PSSI, Benhard Limbong mengaku terkejut dengan kabar itu. Limbong pun menyatakan akan memanggil pemain-pemain yang dikabarkan bertemu Riedl untuk dimintai keterangan.
"Apa maksudnya dia (Riedl) memanggil para pemain. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan di sana. Tapi saya ingin Riedl segera meninggalkan Indonesia dan tidak lagi mencampuri urusan timnas," cetus Limbong kepada wartawan di kantor PSSI, Jumat (9/9).
Sejak beberapa hari lalu Riedl memang berada di Jakarta. Ini terkait dengan tuntutannya kepada PSSI yang belum juga dikabulkan. Yaitu kompensasi senilai sekitar Rp 1,7 miliar karena dia diberhentikan di tengah jalan tanpa alasan jelas pertengahan Juli lalu.
"Alfred Riedl ke FIFA saja. Itu urusan dia dengan FIFA. Dia tidak usah ganggu PSSI. Kenapa Riedl mesti datang lagi ke Indonesia jika masalahnya sudah diserahkan ke FIFA," sambung Limbong.
Jenderal bintang satu ini juga menyalahkan pemain yang menurutnya terkesan cengeng. "Saya juga heran kenapa pemain ngotot ingin pelath diganti. Kalah dalam pertandingan itu wajar. Tidak perlu mencari kambing hitam. Kita evaluasi bersama. Tidak bisa pemain menentukan pelatihnya sendiri," bebernya.
Pertemuan beberapa pemain dengan Riedl itu dibenarkan oleh mantan asisten timnas Wolfgang Pikal. Menurut Wolfgang itu hanyalah silaturrahim biasa. Tidak ada egenda khusus yang dibicarakan. "Hanya pertemuan antar teman untuk melepas kangen. Saya kira itu wajar saja," kata Wolfgang.
Ketika didesak membocorkan siapa saja yang datang dalam pertemuan tersebut Wolfgang yang ikut nimbrung dalam pertemuan itu menolak menyebutkannya. (sumber : Jawapost)
Kinerja Guru Tersertifikasi Harus Dievaluasi
KOMPAS.com - Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, rencana tentang syarat sertifikasi guru yang mengharuskan para guru untuk memublikasikan karya ilmiahnya sebagai sesuatu yang sangat logis.
Mendiknas mengatakan, selalu ada pertanyaan mendasar setelah guru ditetapkan menjadi profesi dan tersertifikasi. Pertanyaan itu terkait sifat dari sertifikasi, yakni apakah mengikat sepanjang hayat atau ada periodesasi untuk mengevaluasi tentang kompetensi profesionalitasnya. Karena sertifikasi itu bertujuan memastikan profesionalitas, sedangkan sifat dari profesionalitas itu sangat fluktuatif, maka kualitas guru bisa naik dan menurun kapan saja.
"Memang sampai saat ini kami belum menentukan berapa tahun harus direview dan dievaluasi tentang sertifikasi yang terkait dengan profesionalitas tersebut," kata Nuh, Jumat (9/9/2011) di Jakarta.
Permasalah lainnya terkait dengan kinerja guru. Setelah disertifikasi seorang guru harus benar-benar menunjukkan peningkatan kinerjanya. Kemdiknas saat ini sedang menyiapkan evaluasi bagi para guru yang sudah mendapatkan sertifikasi atau kemaslahatan sebagai seorang profesional.
Ini menjadi penting, bukan karena untuk mengungkit apa yang sudah diberikan kepada para guru, akan tetapi Mendiknas menilai bahwa pemenuhan tuntutan masyarakat adalah hal yang utama. Hal ini juga terkait langsung dengan konsekuensi dari seseorang yang sudah mendapatkan kemaslahatan dari profesinya.
Nuh memaparkan, ada tiga variabel yang harus dievaluasi terkait dengan kinerja guru. Pertama adalah absentisme atau tingkat kehadiran. Absentisme menjadi hal paling utama dalam evauasi kinerja para guru karena dapat diketahui berapa jam guru tersebut mengajar dan berapa jam waktu mengajar yang hilang.
Variabel kedua yaitu kinerja tentang prestasi dari siswanya karena ini merupakan ujung dari hasil mengajar guru tersebut. "Misalnya saya guru matematika, berapa tingkat kelulusan siswanya? Oleh karena itu harus dievaluasi dan dikaitkan dengan nilai yang dicapai oleh siswanya," ujar Nuh.
Variabel ketiga dalam evaluasi kinerja guru lebih masuk ke wilayah kolektif, yaitu sampai sejauh mana peran sang guru dalam membangun budaya belajar di sekolah. Ini sama halnya dengan kegiatan ekstrakurikuler guru, misalnya ia ikut menulis pengembangan keilmuan, memberikan pendampingan pada kegiatan Pramuka dan sebagainya, yang ujungnya itu bisa membangun budaya di sekolah. "Itulah hal-hal yang harus dilakukan di dalam konteks mengevaluasi kinerja guru," tuturnya.
Mendiknas mengatakan, selalu ada pertanyaan mendasar setelah guru ditetapkan menjadi profesi dan tersertifikasi. Pertanyaan itu terkait sifat dari sertifikasi, yakni apakah mengikat sepanjang hayat atau ada periodesasi untuk mengevaluasi tentang kompetensi profesionalitasnya. Karena sertifikasi itu bertujuan memastikan profesionalitas, sedangkan sifat dari profesionalitas itu sangat fluktuatif, maka kualitas guru bisa naik dan menurun kapan saja.
"Memang sampai saat ini kami belum menentukan berapa tahun harus direview dan dievaluasi tentang sertifikasi yang terkait dengan profesionalitas tersebut," kata Nuh, Jumat (9/9/2011) di Jakarta.
Permasalah lainnya terkait dengan kinerja guru. Setelah disertifikasi seorang guru harus benar-benar menunjukkan peningkatan kinerjanya. Kemdiknas saat ini sedang menyiapkan evaluasi bagi para guru yang sudah mendapatkan sertifikasi atau kemaslahatan sebagai seorang profesional.
Ini menjadi penting, bukan karena untuk mengungkit apa yang sudah diberikan kepada para guru, akan tetapi Mendiknas menilai bahwa pemenuhan tuntutan masyarakat adalah hal yang utama. Hal ini juga terkait langsung dengan konsekuensi dari seseorang yang sudah mendapatkan kemaslahatan dari profesinya.
Nuh memaparkan, ada tiga variabel yang harus dievaluasi terkait dengan kinerja guru. Pertama adalah absentisme atau tingkat kehadiran. Absentisme menjadi hal paling utama dalam evauasi kinerja para guru karena dapat diketahui berapa jam guru tersebut mengajar dan berapa jam waktu mengajar yang hilang.
Variabel kedua yaitu kinerja tentang prestasi dari siswanya karena ini merupakan ujung dari hasil mengajar guru tersebut. "Misalnya saya guru matematika, berapa tingkat kelulusan siswanya? Oleh karena itu harus dievaluasi dan dikaitkan dengan nilai yang dicapai oleh siswanya," ujar Nuh.
Variabel ketiga dalam evaluasi kinerja guru lebih masuk ke wilayah kolektif, yaitu sampai sejauh mana peran sang guru dalam membangun budaya belajar di sekolah. Ini sama halnya dengan kegiatan ekstrakurikuler guru, misalnya ia ikut menulis pengembangan keilmuan, memberikan pendampingan pada kegiatan Pramuka dan sebagainya, yang ujungnya itu bisa membangun budaya di sekolah. "Itulah hal-hal yang harus dilakukan di dalam konteks mengevaluasi kinerja guru," tuturnya.
Mendiknas Setuju Jam Ajar Guru Ditambah
JAKARTA--Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh sepakat adanya wacana penambahan jam mengajar minimal guru, dari 24 jam menjadi 27,5 jam per minggu yang diusulkan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
"Kami sangat menghargai usulan dari menpan untuk menaikkan dari 24 jam ke 27,5 jam atau bahkan ke 30 jam," kata Nuh di Gedung Kemendiknas, Jakarta, Jumat (9/9).
Menurutnya, biasanya jam mengajar para guru itu rata-rata sebanyak 34 jam per minggu. Namun begitu, 27,5 jam tersebut tidak dihitung hanya berdasarkan jumlah jam tata muka di kelas saja. "Tidak hanya mengajar di depan kelas itu saja, tapi juga persiapan-persiapan untuk mengajar. Itu pun juga harus dimasukkan sebagai bagian dari work hours-nya itu," lanjut Nuh.
Mantan Rektor ITS ini menilai, usulan 27,5 jam atau 30 jam tidak harus diterjemahkan secara kaku. "Tapi bisa dimasukkan juga kegiatan yang bersifat pendampingan ke siswa atau memberikan bimbingan siswa di lapangan. Sehingga bisa dimasukkan sebagai bagian dari beban mengajar," ujarnya.
Hanya saja, hingga kini Kemdiknas belum ada sistem yang dapat digunakan untuk menghitung akurasi jumlah beban jam mengajar di luar tatap muka. Terlebih lagi pasca sertifikasi guru, yang sebenarnya sistem evaluasi tersebut sangat dibutuhkan untuk mengukur kinerja guru. "Nah, kita juga belum menentukan cara menilai kinerja itu. Apakah sertifikasi seorang guru itu bisa benar-benar meningkatkan kinerja atau tidak," imbuhnya.
Nuh menambahkan, saat ini Kemdiknas tengah mempersiapkan evaluasi kinerja dari guru yang sudah dapat sertifikasi atau kemaslahatan seorang profesional. Setelah guru menjadi profesi dan sudah disertifikasi, lanjut Nuh, harus ditentukan masa berlaku sertifikasi tersebut. "Sertifikat tadi itu sertifikat sepanjang hayat, atau ada periodesasi untuk mengevaluasi tentang kompetensi profesionalnya itu. Mengingat profesionalisme sangat fluktuatif," ungkapnya. Sumber Kompas
"Kami sangat menghargai usulan dari menpan untuk menaikkan dari 24 jam ke 27,5 jam atau bahkan ke 30 jam," kata Nuh di Gedung Kemendiknas, Jakarta, Jumat (9/9).
Menurutnya, biasanya jam mengajar para guru itu rata-rata sebanyak 34 jam per minggu. Namun begitu, 27,5 jam tersebut tidak dihitung hanya berdasarkan jumlah jam tata muka di kelas saja. "Tidak hanya mengajar di depan kelas itu saja, tapi juga persiapan-persiapan untuk mengajar. Itu pun juga harus dimasukkan sebagai bagian dari work hours-nya itu," lanjut Nuh.
Mantan Rektor ITS ini menilai, usulan 27,5 jam atau 30 jam tidak harus diterjemahkan secara kaku. "Tapi bisa dimasukkan juga kegiatan yang bersifat pendampingan ke siswa atau memberikan bimbingan siswa di lapangan. Sehingga bisa dimasukkan sebagai bagian dari beban mengajar," ujarnya.
Hanya saja, hingga kini Kemdiknas belum ada sistem yang dapat digunakan untuk menghitung akurasi jumlah beban jam mengajar di luar tatap muka. Terlebih lagi pasca sertifikasi guru, yang sebenarnya sistem evaluasi tersebut sangat dibutuhkan untuk mengukur kinerja guru. "Nah, kita juga belum menentukan cara menilai kinerja itu. Apakah sertifikasi seorang guru itu bisa benar-benar meningkatkan kinerja atau tidak," imbuhnya.
Nuh menambahkan, saat ini Kemdiknas tengah mempersiapkan evaluasi kinerja dari guru yang sudah dapat sertifikasi atau kemaslahatan seorang profesional. Setelah guru menjadi profesi dan sudah disertifikasi, lanjut Nuh, harus ditentukan masa berlaku sertifikasi tersebut. "Sertifikat tadi itu sertifikat sepanjang hayat, atau ada periodesasi untuk mengevaluasi tentang kompetensi profesionalnya itu. Mengingat profesionalisme sangat fluktuatif," ungkapnya. Sumber Kompas
Langganan:
Postingan (Atom)